Bagi sebagian masyarakat Jawa Barat, Kerajaan Tarumanagara, Pajajaran, Galuh, Pakuan, Kawali adalah bagaikan cerita diantara mitos dan sejarah. Tak jelas lagi yang mana mitos dan yang mana sejarah. Masyarakat, banyak sekali yang mengenal kerajaan dan tokoh-tokohnya sebatas nama yang dipakai untuk nama jalan seperti misalnya jalan Pajajaran atau Wastu Kencana, dan ada sebagian kecil yang mengenal melalui karya-karya sastra seperti Mundinglaya Dikusuma, .. atau dari sejenis kakawihan (senandung) seperti Ayang-ayang Gung yang menceritakan tokoh Ki Mas Tanu, ... pribumi perwira kompeni Belanda yang dalam dirinya terbersit muncul rasa bangga akan kejayaan Pajajaran ketika membuka wilayah di atas puing kerajaan, ...walau pada akhir cerita beliau menderita dua kerugian..dikucilkan oleh kompeni dan dicaci sebagai penghianat oleh masyarakat pribumi, ...konon katanya ...dan tetap tidak banyak diketahui siapa tokoh Ki Mas Tanu itu, ...fiktifkah, samarankah, atau realita yang terkubur dan terlupakan terlindas pergantian jaman. Juga boleh jadi nama "Sunda" sendiri sebagai sebutan wilayah Jawa Barat tak banyak diketahui asal-usulnya oleh masyarakat setempat.
Tentu saja masih banyak mitos, legenda atau riwayat tokoh-tokoh dan kerajaan yang masih hidup dalam cerita masyarakat yang mungkin bisa dirunut dan dijelaskan lebih rinci sebagai bagian dari sejarah atau kenyataan di masa lalu yang layak untuk dijadikan'pelajaran' ... Mudah-mudahan tulisan dan site ini bisa menjadi salah satu penjelas, serta akan menjadi suatu kehormatan bagi kami jika dapat menjadi bagian dari proses mendapatkan 'pelajaran' itu.
Isi tulisan dalam site bersumber dari buku Sejarah Bogor (Bagian I) yang ditulis oleh Saleh Danasasmita (alm), dan diterbitkan oleh PEMDA DT II Bogor 1983.
Edisi cyber adalah merupakan hasil kompilasi dari 45 posting e-mails dengan topik "Dayeuh Bogor" di milis (mailing-list) ipbstaf yang disampaikan oleh administrator-nya, yaitu; sdr. Dadan Hindayana, selama dua bulan dari mulai 28 Juni sampai 26 Agustus 2000.
Beberapa catatan baik dari penulis maupun dari poster rasanya perlu disampaikan dalam pengatar di sini sekalipun beliau berdua masing-masing menyampaikan pesannya sebagai catatan penutup, sebagai berikut:
Posting-posting yang telah saya kirim 100 % dirujuk dari buku karangan Saleh Danasasmita, meskipun dalam penyampaianya telah mengalami banyak perubahan dari sumber aslinya. Hal ini dilakukan karena saya pribadi menilai susunan paragrap dalam buku itu terkadang banyak melompat. Apa yang telah saya lakukan hanyalah pendapat pribadi saja dan menurut saya demikianlah runtutan kisah itu semestinya disajikan. Atas dasar ini, bila ada kekeliruan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan tentu saja saya persilahkan kepada anda sekalian untuk membaca sumber aslinya.
Terakhir saya masih ingin menyampaikan untaian kata yang ditulis oleh Pak Saleh Danasasmita dalam buku itu sebagai bahan renungan:
Hidup adalah jalinan antara manusia, ruang dan waktu. Manusia senantiasa akan berganti, ruang selalu berubah wujud dan waktu tak pernah berhenti. Itulah panggung kehidupan kita. Sejarah hanyalah sekelumit upaya manusia untuk mengenal dirinya melalui tangga waktu: dari mana dia datang, di mana dia berada dan ke mana dia akan menuju. Apa ang kita warisi, apa yang kita buat dan kita pakai, lalu apa yang akan kita wariskan.
"Ka hareup ngala sajeujeuh ka tukang ngala salengkah" untuk maju setapak kita memerlukan pengalaman satu langkah lebih dulu Tanpa membina diri terus-menerus, kita akan kehabisan bekal. Demikianlah ujar pepatah para leluhur.
Catatan lain dari penulis yang juga sangat menarik untuk kita renungi dan cermati atau lebih jauh kita jadikan sebagai bahan perbandingan rujukan dalam 'melangkah' dan berkarya, meski pesan penulis tersebut disampaikan dalam konteks upaya memahami makna simbol-simbol dari peninggalan-peninggalan fisik karya manusia di wilayah Bogor, yaitu sebagai berikut:
..........
Uraian ini ditambahkan sebagai pelengkap dengan maksud memandang ke sisi lain tempat orang-orang tua yang bijak merenungkan sesuatu di luar wujud materi. Manusia modern pernah beranjak terlalu jauh dan menganggap dirinya berhadapan, bahkan berhak menaklukkan alam. Namun pengalaman membuktikan bahwa mereka hanya sebagian dari alam itu. Menaklukkan alam berarti memusnahkan diri sendiri karena lingkungan hidup itu BUKAN UNTUK PARA PENGHUNINYA, melainkan TERDIRI ATAS PARA PENGHUNINYA.
Pesan-pesan yang sangat menarik untuk dicermati, bukan?........
Ahirul kata, selamat membaca, semoga bermanfaat dan mohon maaf jika banyak kekeliruan. Saran dan koreksi senantiasa dengan senang hati akan diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar